Minggu, 03 Mei 2015

Guru

Hari ini aku kembali mengingatnya.. sesosok pahlawan tanpa tanda jasa yang telah tiada, ibu ke dua bagiku, guru ku yang tercinta, yang bernama Ibu Teti Khodijah.
Beliau adalah sosok guru yang baik dan cantik, dia mengajar ku 2 kali, namun yang ke 2 itu hanya sesaat. Baiklah akan ku ceritakan.
Hari ini aku duduk di bangku kelas 2 SD. aku dengan teman teman ku yang berjumlah 65 kembali bersama sama, tapi sayangnya kami dibagi menjadi 2.
“65 dibagi 2 menjadi 32-33.. baik yang 32.. [....]” ucap salah satu guru yang mungkin akan menjadi wali kelas ku saat itu.
Aku ternyata masuk kelas B, dengan jumlah murid 32, aku pikir aku akan masuk A, tapi masuk B.. aku senang karena aku bisa menjadi anak kelas 2.. dan aku mendapatkan wali kelas yang yang bernama “Teti Khodijah”
Beliau adalah sesosok guru yang baik nan cantik, aku yang terkadang selalu lupa atau tidak bisa selalu ia ingati, aku pun senang belajar bersama nya hingga kelas 2 itu usai aku tidak kembali diajar oleh nya.
2 Tahun kemudian
Kini aku telah kelas 5 dan aku kembali bersama teman teman lama ku, namun kini jumlahnya hanya ada 59 saja. sedih pikir ku banyak yang keluar dan sekarang wali kelas ku ada 2 orang, aku senang saat melihat wali kelas ku itu, ia dia adakah ibu Teti dan dia sangat baik kepadaku.
“Ri.. Ri..” ucap teman ku dan aku menjawab “Hah apaan ki?” dia pun berbicara “Ibu teti baik yah” sembari tersenyum… aku pun tersenyum dan berkata “Iyalah dia sangat baik”. kami pun akhirnya keasyikan mengobrol dan sampai tegor oleh guru yang lainnya.
Sampai pada suatu saat salah satu wali kelas ku berkata
“Anak-anak, ibu teti sedang berada di rumah sakit, dia sakit.. tapi tenang aja yah beliau pasti akan baik-baik saja kok.. dan ini pengganti nya, ibu sri”
Kami pun serentak mengucapkan “Selamat pagi bu sri”
Ibu Sri ini pun langsung tersenyum. aku senang memiliki guru yang baik hati kembali, tapi aku rindu dengan ibu Teti
4 Bulan berlalu aku masih belajar dengan Ibu Sri, kenapa dengan ibu teti? ada apa dengan nya? kenapa masih belum mengajar kami, akhirnya kami pun menanyakan keadaan Ibu Teti keapada wali kelas ku
“Bu.. bu teti udah sembuh belum bu?” ucap salah satu teman ku dengan nada sedih. aku waktu itu bertanya tanya, kenapa teman ku ini bertanya dengan nada sedih ada apa dengan nya?
Dan wali kelas ku itu menjawab “Gak apa apa.. gak apa apa kok ibu teti mah”
Aku yang mendengar itu merasa senang. dan aku pun pulang
Malam harinya aku tidur dan bermimpi kalau ibu teti menghampiri ku dan berkata
“Ri.. jangan pernah menyerah, kamu pasti bisa yah nak, ibu akan selalu di samping kamu”
Aku pun langsung terbangun dan… hari sudah pagi, aku pun berangkat ke sekolah, namun apa yang aku lihat, sekolah begitu sedih, seperti suasana berkabung dan aku tanyakan kepada teman ku ada apa dengan ini semua dan dia menjawab kalau ibu teti telah tiada, aku yang mendengar ini sedih.. tangisan mata ini selalu muncul ketika mengingat kebaikan nya, aku senang dan sedih.. senang bisa membawa nya hingga tempat terakhir dan sedih karena ibu ke dua ku telah tiada
Kini aku akan menjadi anak yang lebih bisa, aku yakin beliau ada di samping ku untuk menyemangati ku saat ini


Cerpen Karangan: Arie Andreana Taufiq

Pantang Menyerah Untuk Sekolah

Danu adalah anak dari orang yang kurang mampu, Ibunya meninggal dunia saat Danu berumur 2 tahun. Sepeninggal Ibunya, keluarganya menjadi berantakan, ayah Danu mempunyai banyak hutang kepada rentenir untuk menghidupi keluarganya, uang hasil kerja sebagai penyapu jalanan saja tidak cukup untuk menghidupi keluarganya.

Danu duduk di kelas 6 SD, walaupun dia anak dari orang yang kurang mampu tapi ia termasuk siswa yang cukup pandai. Setelah pulang sekolah Danu selalu menjualkan koran dari toko koran langganannya, setiap hari Danu mendapat uang sebesar Rp 25.000 dari hasil menjualkan koran. Uang itu ia pergunakan untuk membelikan obat untuk adiknya yang terbaring lemah di tempat tidur.
Suatu ketika, Danu diberi sebuah surat dari Pak Dadang, guru Danu, Surat itu ia berikan kepada Ayahnya, ternyata isi surat tersebut adalah Danu diminta untuk membayar uang sekolah yang sudah menunggak selama 4 bulan. Danu berfikir apakah ia bisa melanjutkan sekolahnya atau tidak.
Danu sudah 5 hari tidak masuk sekolah, ia berusaha mencari uang bersama ayahnya untuk membiayai sekolahnya. Pada sore hari Pak Imam Guru sekolahnya Danu datang ke rumahnya Danu, Pak Imam bertanya kepada Danu kenapa sudah tidak masuk sekolah selama 5 hari, Danu berterus terang bahwa ia mencari uang bersama Ayahnya untuk membiayai sekolahnya. Cukup lama mereka berbincang-bincang, tidak lama kemudian Pak Imam berkata kepada Danu untuk terus sekolah, dan Pak Imam akan membiayai Sekolah (SD) Danu.
Esok harinya Danu masuk sekolah, di sekolah ada pengumuman bahwa Ujian Sekolah akan diadakan 1 minggu kemudian, dan barang siapa yang lulus dengan nilai yang bagus ia akan mendapat beasiswa untuk masuk SMP Harapan Bangsa secara gratis.

Danu terus belajar dengan giat, agar ia bisa mendapatkan beasiswa tersebut. Saat Ujian berlangsung, Danu dapat mengerjakannya dengan baik.
3 minggu kemudian hasil Ujian Nasional diumumkan, Danu sangat gembira dengan nilai yang cukup bagus, yaitu: BI (9,2), Mat (9), IPA (9,6). dan Pak Imam mengumumkan siapa yang mendapat beasiswa masuk SMP Harapan Bangsa. Dan ternyata Danu yang mendapatkan beasiswa tersebut. Danu sangat gembira dan berterimakasih kepada semua gurunya dan Ayahnya yang telah membantunya dalam belajar.
Akhirnya Danu terus melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu SMP, ia akan belajar dengan sungguh-sungguh supaya berhasil untuk meraih cita-citanya, yaitu seorang Guru.

Cerpen Karangan: Andhik Prastiarto

Izinkan Aku Tetap Sekolah

Nanis merupakan anak bungsu dari pasangan keluarga miskin. Empat orang kakanya hanya mampu menyelesaikan pendidikan sekolah dasar (SD), bahkan ibunya tak paham soal sekolah. Kalo bicara soal pendidikan di keluarganya, yang paling tinggi adalah kakaknya yang nomor dua. Dia sempat merasakan duduk di bangku SMP walau hanya satu semester, dan kemudian didepak lantaran tidak bisa membayar biaya sekolah.

Sebagai orang desa yang serba susah, mimpi Nanis tidak muluk-muluk. Dia hanya ingin bersekolah. Tidak peduli sekolah apapun namanya. Waktu duduk di bangku sekolah SD, Nanis bersekolah di sekolah yang hanya bersetatus terdaftar. Soal prestasi sekolahnya, jangan ditanya. Karena jika ditanya, itu hanya akan menjadi pertanyaan yang tidak pernah terjawab sepanjang masa, dan akan menjadi rahasia yang tak terpecahkan, bahkan dengan mengerahkan intelejen sekelas FBI sekalipun.
Gedung sekolah Nanis ketika itu lebih pantas dijadikan kadang kelinci, daripada kandang ayam. Tapi Nanis tidak peduli. Buat Nanis, yang penting adalah status bersekolahnya, dan belajar dengan giat. Soal sarana dan prasarana, itu urusan lain. Menurut Nanis, toh pada akhirnya yang dilihat hanya ijazah, dan kemampuannya saja, tidak sampai gedung, pengajar, bocor atau tidak bocor sekolahnya. Walau orang miskin, Nanis memang terkenal memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Hingga pada akhirnya, dengan menjunjung tinggi keyakinannya itu, Nanis dapat menyelesaikan pendidikannya hingga lulus SMA.

Seperti kebanyakan siswa lainnya, Nanis pun ‘galau’ ketika harus memilih bekerja atau kuliah. Jika kuliah, kuliah jurusan apa, di mana, bagaimana memulainya, dan segudang pertanyaan lainnya. Pertanyaan tambahan bagi Nanis adalah, biayanya dari mana, bagaimana cara daftaranya, dijemput atau tidak, dan beberapa pertanyaan polos yang sulit dicerna oleh kebanyakan orang. Karena bagi kebanyakan orang, pertanyaan-pertanyaan Nanis bukanlah pertanyaan yang wajib dijawab. Bahkan, jika diumpamakan sebuah ujian, pertanyaan Nanis itu masuk kategori pertanyaan “Bonus”. Yang kalaupun salah menjawabnya, tetap dianggap benar oleh pembuat pertanyaan.
Hingga suatu ketika, Nanis memberanikan diri menyampaikan kebingungan kepada Ibunya yang dianggap dapat memberikan solusi.
 “…Bu, Aku bingung, aku sudah lulus SMA” keluh Nanis kepada ibunya.
“Terus, apa masalahmu?” Jawab ibunya.
“Aku bingung harus kuliah atau bekerja” lanjut Nanis ragu.
“Kita ini orang miskin, bekerja lebih baik buatmu. Tidak ada kata kuliah, bisa lulus SMA saja, kau sudah banyak bikin ibu susah.!!” sahut ibunya sinis.
Nanis diam tanpa kata, karena menjawab pernyataan ibu, hanya akan mempersulit perjuangannya. Nanis tidak menduga, ternyata mengeluh kepada ibunya jadi masalah baru. Sekarang tantangan Nanis bertambah, selain kebingungannya memilih kerja atau kuliah, Nanis harus meyakinkan ibunya agar memberi restu untuk melanjutkan kuliah.

Nanis tidak berani bercerita kepada Bapaknya tetang masalah yang sedang dialami, hal ini dilakukan oleh dia bukan tanpa alasan. Mungkin karena sejak awal Nanis lahir, bapaknya memang sudah tidak berniat untuk menyekolahkannya. Bagi bapaknya, menjadi kuli bangunan dari kampung ke kampung sudah cukup terhormat. Itulah kalimat semboyan bapak Nanis sejak ibunya mengandung Nanis dan empat orang saudaranya.

Bapak Nanis sseorang kuli bangunan. Saat ini, sedang merantau menyelesaikan sebuah proyek gedung di kota bersama teman satu desanya. Biasanya, bapak Nanis balik saat proyek selesai atau saat diberi kesempatan libur oleh Mandor.

Malam hari setelah Nanis pulang dari mushalla usai menjalankan shalat Isya, dia mencoba menemui kakaknya yang nomor tiga, namanya Intan. Intan adalah anak perempuan satu-satunya di keluarga Nanis. Selain memiliki sifat keibuan, Intan kadang bijak dalam memberi nasehat dan arahan.
“Teh -teteh, sebutan kakak perempuan bagi orang sunda-, aku bingung” keluh Nanis pada Intan.
“Bingung kenapa kamu Nis?” sahut Intan.
“Teteh tahukan, aku baru saja dinyatakan lulus oleh sekolah” lanjut Nanis.
“Lalu, masalahmu apa? Tanya tetehnya kembali.
“Aku ingin kuliah, tapi aku tak tahu bagaimana caranya. Aku tak tahu harus memulai dari mana. Kita tak punya uang, uang pendaftaran, uang macam-macam, semua kita tidak punya. Parahnya lagi, Ibu malah menyuruhku untuk memilih bekerja. Aku tak tau harus bekerja apa” jawab Nanis panjang menjulang.

“Nis, jika teteh harus menjawab jujur, mungkin mengeluh pada teteh juga akan menambah masalah buatmu”. Sahut Intan dengan nada lemah. “Teteh tahu apa tentang sekolah” lanjutnya dengan mata berkaca-kaca. “Tapi, rasanya, sebagai orang yang lebih tua, teteh tidak pantas membantah keinginanmu yang mulia itu” lanjut Intan menenangkan. “Lalu.?” Tanya nanis penasaran. “Teteh mendukungmu Nis, nanti teteh bantu kamu meyakinkan ibu” tegas intan meyakinkan.
Nanis girang bukan kepalang, “terima kasih Teh” sahut Nanis dengan wajah gembira. Nanis beranjak ke kamar, Nanis tidur pulas malam ini.

Soal urusan lobi melobi ibu, Intan memang jagonya. Mungkin karena mereka sama-sama perempuan, sehingga tahu dari mana dia harus memulai sebuah pembicaraan dan meyakinkan.
Keesokan harinya, Intan menyiapkan amunisi, siap berperang, siap menyerang. Menunggu hari senja, Intan bergegas, bertanya kepada teman-temannya, mengapa kita harus sekolah, bagaimana orang bisa sukses, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang sudah disiapkan. Semua jawaban direkam olehnya, dan akan dijadikan bahan obrolan saat meyakinkan ibunya nanti malam. Hari kembali senja, perjuangan Intan dimulai.

Setelah shalat magrib, Intan mulai mendekati Ibunya. Muka ibu nampak sedang tidak sedap, Intan urung. Bada Isya, muka ibu mulai cerah. Entah pembersih apa yang dipakai ibu Intan. Intan mendekat, sedikit pura-pura santai, lalu intan menyapa.
“…Bu, aku lihat TV di rumah teman, banyak orang-orang sukses yang muncul disana” Intan memulai pembicaraan dengan ibunya.
“Kenapa? Kamu ingin ibu belikan TV untuk kalian? Uang dari mana?” Sahut ibu menebak maksud Intan.
“Bukan Bu” bantah Intan. “Dari tayangan itu, mereka berjuang menjadi sukses dan mereka sekolah” jelas Intan dengan ragu.
“Pasti mereka berasal dari orang kaya” timpal ibu.
“…Betul bu” sahut Intan. “Tapi, yang paling penting, walau mereka kaya, mereka bersekolah sampai tinggi. Sampai sarjana, malah di atasnya” Intan mulai mengarah kepada pokok pembicaraan.
“Ya, karena mereka kaya” bantah ibunya.
“kalau mereka saja yang sudah kaya mau sekolah, mengapa kita orang susah gak mau sekolah bu, setidaknya, supaya kita lebih terhormat, sejajar dengan kebiasaan orang kaya, yaitu sekolah” Intan mulai panas.
“Bagaimana kita bisa sekolah, kalo kita gak punya uang buat bayarnya. Sekolah itu hanya miliki mereka yang ber-uang. Orang susah kayak kita mana bisa” Ibu terbakar.
“Sekolah itu sebab bu, bukan akibat. Orang sekolah, berilmu, sukses, lalu jadi orang kaya. Bukan sebalikna. Setelah kaya, mereka menyekolahkan anak dan keturunannya. Bukankah ibu dulu yang pernah bilang kepada Intan waktu kecil soal itu.!?” Intan mulai ngarang. Ibu mulai diam dan berpikir sejenak, bingung, karena ibu merasa tidak pernah mengatakan hal itu sebelumnya. Tapi tetap meng-amini, lalu menyahut.
“…Tan, orangtua selalu berbicara idealis kepada anak-anaknya, walaupun sesuatu yang tidak mungkin sekalipun dicapainya. Itu kewajiban orangtua. Kenyataanya, tidak semudah yang ada pada ucapan mereka. Paham kau Tan..!? bentak ibunya.
“…Sudahlah, usiamu sudah cukup tua untuk sekolah, tidak pantas anak SMP seusia kamu” kata ibu mulai menutup pembicaraan.
“…bukan aku bu, tapi Nanis” Intan memelas.
Pembicaraan mereka berlanjut dengan tensi yang lebih rendah. Intan mulai menjalan strategi memelas kepada Ibunya, si Ibu mulai merendah. Bertahan di tengah gempuran sang anak. Berkali-kali Intan melakukan serangan, tapi tetap dimentahkan. Pembicaraan terus berlangsung, hingga mereka tertidur.

Pagi buta Intan terbangun lebih dahulu dari ibunya. Intan bergegas, menjalankan shalat subuh, membersihkan dapur, dan menyiapkan makanan seadanya. Tak lama kemudian ibu terbangun. Intan berharap ibu lupa dengan perdebatan tadi malam. Walau ingat, Intan berharap ibu menyetujui niat Nanis untuk melanjutkan kuliah.
Waktu sudah menunjukan pukul 09.00 pagi, tidak ada pembicaraan yang berarti hari ini. Ibu malu menyapa, Intan enggan memulai. Sementara Nanis, menjalankan aktifitas rutinnya, menyemai harapan.

Ibu mendekat pada Intan, dengan gerakan sedikit canggung, ibu menyapa.
“…Tan, kemana Nanis?” Tanya ibu penuh basa-basi
“Mungkin sedang keluar bersama teman-temannya bu” jawab Intan dengan nada kikuk.
“Jika Dia pulang nanti, bilang padanya…”
“Bilang apa bu?” potong Intan penasaran.
Ibu termenung dan terdiam sejenak. Sementara Intan menanti jawaban ibu dengan mata berbinar-binar.
“Bapak minta Nanis menyusul ke kota, kontraktor tempat bapak bekerja membutuhkan kuli untuk percepatan proyeknya. Tadi malam bapak menelepon lewat tetangga” jawab ibu dengan muka penuh bersalah.
Intan terdiam, pikirannya melayang. Sang Negosiator handal ternyata harus bersimpuh mengakui kekalahan yang tragis, kalah karena alasan kemiskinan. Negosiasi tadi malam berakhir, dan pemenang sudah diumumkan. Hasilnya adalah Nanis menjadi Kuli.
Nanis belum tahu soal ini, karena hari ini Nanis sedang menemui guru-gurunya yang dianggap bisa membantu meraih mimpinya itu.

Tapi palu sudah diketuk, sekuat apapun, hasil apapun yang nanis dapat, menjadi kuli adalah jawabannya. Karena suara bapak adalah suara tuhan. Tidak ada yang bisa membantah keputusan tersebut. Ini adalah pukulan hebat bagi Intan. Sementara Nanis masih tersenyum dikejauhan entah dimana. Dia belum tahu, bahwa kuli adalah profesi dia selanjutnya. (Ceritanya bersambung)


Cerpen Karangan: Tito Mendes

"Artikel" Pentingnya Pendidikan Kewarganegaraan

Pendidikan kewarganegaraan adalah salah satu mata pelajaran yang tersedia di semua jenjang Pendidikan. Mulai dari SD sampai SMA dapat kita temukan mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Bahkan sampai tingkat Bangku Kuliah pun juga menyediakan Mata kuliah Kewarganegaraan. Namun di beberapa universitas mengganti mata kuliah kewarganegaraan menjadi Pendidikan Pancasila. Akan tetapi, pada intinya kedua materi ini tetap saja membahas masalah kehidupan berbangsa dan bernegara yang selaras dengan norma-norma serta kaidah-kaidah yang terkandung dalam pancasila.
Meskipun Pendidikan Kewarganegaraan dianggap materi yang penting untuk dipelajari, tetapi materi ini belum menjadi materi yang diprioritaskan dalam pendidikan, hal ini karena dibeberapa universitas hanya memberikan alokasi waktu yang masih minim setiap minggunya. Kebanyakan tingkat sekolah atau Universitas hanya memberikan waktu antara satu sampai dua jam pelajaran setiap minggunya untuk Pendidikan Kewarganegaraan. Sehingga hal ini sangat tidak efektif untuk memberikan pengetahuan kewarganegaraan secara optimal kepada peserta didik. Di samping itu, tingkat pemahaman peserta didik pun patut dipertanyakan dengan hanya mengikuti pendidikan yang sangat singkat tersebut.
Di balik minimnya alokasi waktu yang diberikan, materi pendidikan kewarganegaraan memiliki peran yang sangat penting. Beberapa hal yang menjadi dasar pentingnya pendidikan kewarganegaraan di antaranya adalah :
Materi pendidikan kewarganegaraan mengajarkan siswa untuk mengenal aturan dasar kewarganegaraan. Hal ini khususnya terkait hak dan kewajiban mereka sebagai warga negara.
Pendidikan Kewarganegaraan merupakan salah satu media untuk mengajarkan kehidupan politik kepada siswa. Siswa dikenalkan sistem politik tanpa harus terlibat langsung dalam kegiatan politik praktis.
Mendidik siswa untuk lebih memiliki toleransi dan tenggang rasa terhadap sesama manusia yang berada dalam satu negara yang sama.
PendidikanKewarganegaraan memberikan pengetahuan pada siswa tentang peraturan Negara yang mengikat agar para siswa bisa hidup dalam aturan hukum yang berlaku.
Pendidikan kewarganegaraan merupakan sarana untuk menumbuhkan rasa cinta tanah air pada siswa. Dengan demikian, diharapkan rasa nasionalisme dapat ditumbuhkan melalui pelajaran ini.
Pada Intinya, Pendidikan Kewarganegaraan diharapkan dapat menciptakan insan yang bermental cerdas dan bertanggung jawab disertai perilaku yang:
  1. Beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan menghayati nilai-nilai falsafah pancasila.
  2. Berbudi pekerti luhur dan sadar akan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
  3. Bersifat profesional yang dijiwai oleh kesadaran BelaNegara

Lemhannas. Pendidikan Kewarganegaraan. 2005. Jakarta:PT Gramedia Pustaka Utama

Puisi "IBU PERTIWI"

IBU PERTIWI
Ibu Pertiwi…
Jika angin tak lagi berhembus
Jika api tak lagi membara
Jika ar tak lagi mengalir
Jika tanah tak lagi membongkah
Apa kita masih dapat berkata?
Tentang hasrat dan milik
Tentang jiwa dan rasa
Tentang dunia yang dipijak nestapa
Tentang duka menyelimuti langkah

Ibu Petiwi…
Masih adakah celah?
Untuk menyimpan gelisah
Untuk menyembunyikan langkah
Tidak, Bu!
Meskipun celah berongga
Dada kita tetap menganga
Meskipun jari tersembunyi
Mata dan telinga tetap ada

Ingatlah…
Wahai Ibu Pertiwi
Kami..,
Putra putri bangsa akan melangkah
Dalam langkah satu dan satu
Bukan melompat
Setelah itu kami terjerat!

Pendidikan Kewarganegaraan Softskill "Puisi"

BANGKIT INDONESIA


Jalani hidup penuh juang
Tatap masa depan cerah penuh harapan
Jangan barkan kesalahan buat keputusasaan
Belajar dari pengalaman bangsa
 
Jangan terusik oleh kesukaran
Hadapilah sebagai tantangan
Berdayakan drimu oleh keberanian
Pelajarilah hal baru dalam hidup
 
Buat bumi Indonesia bersinar
Indonesia milik kita
Indonesia bukanlah milik mereka
Pemuda bangsa anti anarkisme
 
Maju bersatu dalam kebersamaan
Kekuatan dalam satu hati
Memandu puncak kejayaan
Bangkitlah Indonesia!!!!

Pendidikan Kewarganegaran Softskill "Puisi"

Sajak Pohon Sila

Aku menangis saat matahari jatuh
Saat Ia jatuh dalam perut lambungku
Aku terbelenggu ketika bulan terlihat indah
Padahal terlalu banyak lubang didatarannya,

Aku terisak perih, pilu, rapuh
Aku tertusuk rindu elang pancasilaku
Elang yang telah buta dan hilang 
lalu tak singgap lagi di rantingku


Hari ini aku sangat terpukul
Negaraku dipenuhi kata-kata yang tak lagi jujur
Kepemimpinan yang banyak dipenuhi tanda tanya besar
Entah dengan cara apa lagi untuk mengembalikan semuanya


Rakyat-rakyat kecil yang terus dipenuhi dengan harapan-harapan
Hidup Layak,
Omong kosong,
Itulah yang mereka acap kali rasakan.


(Nurfahmi).

"PERADILAN RAKYAT" Cerpen Karya Putu Wijaya

 Seorang pengacara muda yang cemerlang mengunjungi ayahnya, seorang pengacara senior yang sangat dihormati oleh para penegak hukum.

"Tapi aku datang tidak sebagai putramu," kata pengacara muda itu, "aku datang ke mari sebagai seorang pengacara muda yang ingin menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini."

Pengacara tua yang bercambang dan jenggot memutih itu, tidak terkejut. Ia menatap putranya dari kursi rodanya, lalu menjawab dengan suara yang tenang dan agung.

"Apa yang ingin kamu tentang, anak muda?"
Pengacara muda tertegun. "Ayahanda bertanya kepadaku?"
"Ya, kepada kamu, bukan sebagai putraku, tetapi kamu sebagai ujung
tombak pencarian keadilan di negeri yang sedang dicabik-cabik korupsi ini."
Pengacara muda itu tersenyum.
"Baik, kalau begitu, Anda mengerti maksudku."

"Tentu saja. Aku juga pernah muda seperti kamu. Dan aku juga berani, kalau perlu kurang ajar. Aku pisahkan antara urusan keluarga dan kepentingan pribadi dengan perjuangan penegakan keadilan. Tidak seperti para pengacara sekarang yang kebanyakan berdagang. Bahkan tidak seperti para elit dan cendekiawan yang cemerlang ketika masih di luar kekuasaan, namun menjadi lebih buas dan keji ketika memperoleh kesempatan untuk menginjak-injak keadilan dan kebenaran yang dulu diberhalakannya. Kamu pasti tidak terlalu jauh dari keadaanku waktu masih muda. Kamu sudah membaca riwayat hidupku yang belum lama ini ditulis di sebuah kampus di luar negeri bukan? Mereka menyebutku Singa Lapar. Aku memang tidak pernah berhenti memburu pencuri-pencuri keadilan yang bersarang di lembaga-lembaga tinggi dan gedung-gedung bertingkat. Merekalah yang sudah membuat kejahatan menjadi budaya di negeri ini. Kamu bisa banyak belajar dari buku itu."

Pengacara muda itu tersenyum. Ia mengangkat dagunya, mencoba memandang pejuang keadilan yang kini seperti macan ompong itu, meskipun sisa-sisa keperkasaannya masih terasa.

"Aku tidak datang untuk menentang atau memuji Anda. Anda dengan seluruh sejarah Anda memang terlalu besar untuk dibicarakan. Meskipun bukan bebas dari kritik. Aku punya sederetan koreksi terhadap kebijakan-kebijakan yang sudah Anda lakukan. Dan aku terlalu kecil untuk menentang bahkan juga terlalu tak pantas untuk memujimu. Anda sudah tidak memerlukan cercaan atau pujian lagi. Karena kau bukan hanya penegak keadilan yang bersih, kau yang selalu berhasil dan sempurna, tetapi kau juga adalah keadilan itu sendiri."